BAB I
LATAR BELAKANG..
Dalam pembuatan karya tulis ini, kami mungkin membuat banyak kesalahaan secara tidak sengaja. Banyak kelemahan dalam membuat karya tulis ini. Oleh sebab itu, mengingat akan tujuan kami menulis karya tulis ini adalah untuk menambah pengetahuan, maka kami mohon maklum atas segala kesalahan dalam penulisan karya tulis ini. Kami juga menerima kritik dan saran pembaca karya tulis ini dan berharap dapat menjadi inspirasi serta motivasi di penulisan karya tulis lainnya.
BAB II
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal
kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh Inflasi yang sangat tinggi,
disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali.
Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang
yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang
pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada
tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East
Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang
dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang
kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar
mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda
sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI. Kas
negara kosong. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.Usaha-usaha yang dilakukan
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain : Program Pinjaman
Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman denganpersetujuan
BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. Upaya menembus blokade dengan
diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika,
dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan
Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan
Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena
dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal.
Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang
menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah
dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina.
Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang
baru merdeka.
a. Masalah yang dihadapi tahun 1945 – 1950
1. Rusaknya
prasarana-prasarana ekonomi akibat perang
2.
Blokade laut
oleh Belanda sejak Nopember 1946 sehingga kegiatan ekonomi ekspor-impor
terhenti.
3.
Agresi Belanda
I tahun 1947 dan Agresi belanda II tahun 1948.
4.
Dimasyarakat
masih beredar mata uang rupiah Jepang sebanyak 4 miliar rupiah (nilainya rendah
sekali). Pemerintah RI mengeluarkan mata uang “ORI” pada bulan Oktober 1946 dan
rupiah Jepang diganti/ ditarik dengan nilai tukar Rp 100 (Jepang) = Rp 1 (ORI).
5.
Pengeluaran
yang besar untuk keperluan tentara, menghadapi Agresi Belanda dan perang
gerilya. (Suroso, 1994).
b. Masalah yang dihadapiTahun 1951 –
1959
1. Silih bergantinya kabinet
karena pergolakan politik dalam negeri.
2.
Defisit APBN
yang terus meningkat yang ditutup dengan mencetak uang baru.
3.
Tingkat
produksi yang merosot sampai 60% (1952), 80% (1953) dibandingkan produksi tahun
1938.
4.
Jumlah uang
beredar meningkat dari Rp 18,9 miliar (1957) menjadi Rp 29,9 miliar (1958)
sehingga inflasi mencapai 50%.
5.
Ketegangan
dengan Belanda akibat masalah Irian Barat menyebabkan pengambilalihan perusahaan[erusahaan asing (Barat). Sementara
itu di daerah-daerah terjadi pergolakan yang mengarah disintergrasi, seperti
Dewan Banteng, Permesta, PRRI (Suroso, 1994).
Selama periode 1949-1956, struktur ekonomi Indonesia
masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal/ modern, seperti
pertambangan, distribusi, transpor, bankdan pertanian komersil, yang memiliki
kontribusi lebih besar dari pada sektor informal/ tradisional terhadap output
nasional, didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan
berorientasi ekspor komoditi primer (Tulus Tambunan, 1996).
a.
Rencana dan
Kebijaksanaan Ekonomi
Memang sebelum pemerintahan Soeharto, Indonesia telah
memiliki empat dokumen perencanaan pembangunan, yakni :
1)
Rencana dari
Panitia Siasat Pembangunan Ekonomi yang diketuai Muhammad Hatta (1947).
2)
Rencana Urgensi
Perekonomian (1951) – yang diusulkan oleh Soemitro Djojokusumo.
3)
Rencana Juanda
(1955) – Rencana Pembangunan Lima Tahun I meliputi kurun waktu 1956-1960.
4)
Rencana Delapan
tahun “Pembangunan Nasuional Semesta Berencana” pada masa demokrasi terpimpin
ala Soekarno (Didin S. Damanhuri,…..)
Mengingat situasi keamanan (Agresi Belanda 1947, 1948,
pemberontakan PKI di Madiun 1948) dan silih bergantinya kabinet maka tidak
dimungkinkan adanya program kebijaksanaan yang bisa dijalankan secara konsisten
dan dan berkesinambungan. Antara tahun 1949-1959 terjadi 7 kali pergantian
kabinet (yang rata-rata berumur 14 bulan) sehingga cukup sulit menilai program
ekonomi apa yang telah berhasil diterapkan masing-masing. (Mubyarto, 1988).
·
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
·
Program Benteng
(Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong
importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan
membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada
importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi
agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun
usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan
tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
·
Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
·
Sistem ekonomi
Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
·
Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya
sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5
Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur
ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh
pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama
dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan
tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum
mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
·
Devaluasi yang
diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang. Uang kertas pecahan Rp
500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100,dan semua
simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
·
Pembentukan
Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
·
Devaluasi yang
dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1.
Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama,
tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi.
Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan
angka inflasi.
Masalah yang dihadapi
1.
Selama Orde Lama telah
terjadi berbagai penyimpangan, dimana ekonomi terpimpin yang mula-mula disambut
baik oleh bung Hatta, ternyata berubah menjadi ekonomi komando yang statistik
(serba negara). Selama periode 1959 – 1966 ini perekonomian cepat memburuk dan
inflasi merajalela karena politik dijadikan panglima dan pembangunannnn ekonoi
disubordinasikan pada pembangunan politik. (Mubyarto, 1990).
2.
Ada hubungan
yang erat antara jumlah uang yang beredar dan tingkat harga (Stephen Genville
dalam Anne Booth dan McCawley, ed., 1990).
Tahun
|
DJUB (%)
|
DHarga (%)
|
1960
1961
1962
1963
1964
1965
1966
|
39
42
99
95
156
280
763
|
19
72
158
128
135
595
635
|
Sumber : Bank Indonesia, Laporan Tahunan jakarta,
Berbagai Edisi.
Selama tahun 60-an sumber penciptaan uang oleh sektor
pemerintah merupakan penyebab terpenting dari naiknya jumlah uang yang beredar.
3. Tahun 1960-an cadangan devisa yang sangat rendah mengakibatkan
timbulnya kekurangan bahan mentah dan
suku cadang yang masih harus diimpor dan diperkirakan dalam tahun 1966 sektor
industri hanya bekerja 30% dari kapasitas yang ada (Peter McCawley dalam Anne
booth dan Peter McCawley, ed., 1990).
a.
Rencana dan
Kebijaksanaan Ekonomi
-
Rencana :
pembangunan nasional semesta berencana (PNSB) 1961-1969. Rencana pembangunan
ini disusun berlandasarkann “Manfesto Politik 1960” untuk meningkatkan
kemakmuran rakyat dengan azas ekonomi terpimpin.
-
Faktor yang
menghambat/ kelemahannya antara lain :
1)
Rencana ini
tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim.
2)
Defisit
anggaran yang terus meningkat yang mengakibatkan hyper inflasi.
3)
Kondisi ekonomi
dan politik saat itu: dari dunia luar (Barat) Indonesia sudah terkucilkan
karena sikpanya yang konfrontatif. Sementara di dalam negeri pemerintah selalu
mendapat rongrongan dari golongan kekuatan politik “kontra-revolusi” (Muhammad
Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).
-
Beberapa
kebijaksanaan ekonomi – keuangan:
1)
Dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia
dilarang menerbitkan laporan keuangan/ statistik keuangan, termasuk analisis
dan perkembangan perekonomian Indonesia.
2)
Pada tanggal 28
Maret 1963 Presiden Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi Ekonomi dan
pada tanggal 22 Mei 1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan negara di
bidang perdagangan dan kepegawaian.
3)
Pokok perhatian
diberikan pada aspek perbankan, namun nampaknya perhatian ini diberikan dalam
rangka penguasaan wewenang mengelola moneter di tangan penguasa. Hal ini nampak
dengan adanya dualisme dalam mengelola moneter. (Suroso, 1994).
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai
tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat
pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang
dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan
Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi
dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa
Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun
bidang-bidang lain.
v MASA PEMBANGUNAN EKONOMI (1983 – 1987)
MASA PASCA OIL BOOM (1983 – 1987)
-
Harga minyak
mencapai US$ 35.00/ per barrel (1981 – 1982), menurun lagi menjuadi US$ 29.53/
barrel (1983 – 1984) dan tahun-tahun berikutnya harga berfluktuasi tidak
menentu. Sejak tahun 1983 perekonomian Indonesia memasuki masa Pasca Oil Boom
(Pasca Bonanza Minyak)
-
Tahun 1986
terjadi goncangan ekonomi akibat merosotnya harga minyak sampai titik terendah
US$ 9,83/ barrel. Program refromasi ekonomi (pemulihan) mulai menampakkan hasil
pada tahun 1998.
a.
Masalah-masalah
yang dihadapi
Merosotnya harga minyak di pasar internasional sepanjang
tahun 1983 – 1987 menimbulkan masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena
penerimaan sektor migas menurun; defisit transaksi berjalan dan defisit APBN
meningkat.
Dampak turunnya harga minyak :
1)
Penerimaan
migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta (1983/1987) dan
menurun lagi 44,0% menjadi US$ 6.966 juta (1986/1987).
2)
Defisit
transaksi berjalan meningkat dari US$2..888 juta menjadi US$4.151 juta
(1983/1984) dan meningkat lagi dari US$1.832 juta menjadi US$ 4.051 juta
(1986/1987).
3)
Defisit APBN
meningkat dari Rp 1.938 triliun menjadi Rp 2.742. triliun (1983/1984) dan
meningkat lagi dari Rp 3.571 triliun menjadi Rp 3.589 triliun (1986/1987).
Sedangkan anggaran pembangunan berkurang Rp 2.777 triliun atau 23,7% dibanding
tahun yang lalu karena pada tahun 1986/1987 banyak proyek yang ditunda/
dipangkas. (angka-angka diolah kembali dari laporan BI tahun yang
bersangkutan).
b.
Rencana dan
Kebijaksanaan Pemerintah
Masa Pasca Oil Boom terjadi pada tahun ke-5 PELITA III
(1983/1984) sampai tahun ke-3 PELITA IV (1986/1987).
Kebijaksanaan tahun 1983 – 1984 :
1)
Devaluasi
Rupiah terhadap US Dollar (US$ 1 = Rp 702 menjadi US$ = Rp 970) untuk
memperkuat daya saing.
2)
Menekan
pengeluaran pemerintah dengan pengurangan subsidi dan penangguhan beberapa
proyek pembangunan
3)
Kebijaksanaan
moneter perbankan 1 Juni 1983 (PAKJUN 1983) :
-
Kebebasan
menentukan suku bunga deposito dan pinjaman bagi bank-bank pemerintah
-
Pemerintah
menerbitkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) sejak Pebruari 1984 dan memberikan
fasilitas diskonto keapada bank-bank umum yang mengalami kesulitan likuiditas
(SBPU mulai digunakan Pebruari 1985).
4)
Kebijaksanaan
perpajakan : memberlakukan seperangkat Undang-undang Pajak Nasional (1984).
(Laporan tahunan B.I. 1983/1984).
Kebijaksanaan Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
-
Kebijaksanaan
ini terutama diarahkan untuk mencegah memburuknya neraca pembayaran, mendorong
ekspor non migas, mendorong penanaman modal dan meningkatkan daya saing produk
ekspor (non migas) di pasar dunia.
(Laporan tahunan B.I. 1986/1987).
a)
Sektor Fiskal/
Moneter :
1)
Pemerintah
melakukan penghematan antara lain dengan mengurangi subsidi; meningkatkan
penerimaan melalui intensiftikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak.
2)
Devaluasi
rupiah terhadap US Dollar sebesar 31% (dari US$ 1 = Rp 970 menjadi US$ 1 = Rp
1.270)
3)
Tidak menaikkan
suku bunga instrumen moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi dan pengerahan
dana serta memperbaiki posisi neraca pembayaran.
4)
Pemerintah
menghapus ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia untuk mendoirong pemasukan
modal asing dan dana dari luar negeri (Laporan Tahunan B.I. 1986/ 1987).
b)
Sektor Riil
(struktural) :
1)
PAKMI – 1986 (6
Mei 1986) menyangkut ekspor: kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan dan
pengembalian bea masuk, pembentukan kawasan berikat.
2)
PAKTO – 1986 (
25 Oktober 1986) menyangkut impor: mengganti “sistem non tarif” dengan “sistsem
tarif” untuk mencegah manipulasi harga barang. Penyempurnaan bea masuk dan bea
masuk tambahan.
3)
PAKDES – 1986
(29 Desember 1986) : memberi kemudahan-kemudahan kepada perusahaan-perusahaann
industri strategis tertentu. (Laporan Tahunan B.I. 1986/1987).
-
Program
penyesuaian ekonomi struktural dan reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintah
Indonesia sejak anjloknya harga minyak di pasar dunia pada pertengahan tahun
1980-an mencakup empat katagori besar, yaitu : (1) pengaturan nilai tukar
rupiah (exchange rate management), (2) kebijakan fiskal, (3) kebijakan moneter
dan keuangan serta (4) kebijakan perdagangan dan deregulasi atau reformasi di
sektor riil dan moneter. (Tulus Tambunan, 1996).
-
Beberapa hasil
Reformasi Ekonomi 1986 – 1987 :
1)
Laju
pertumbuhan ekonomi meningkat dari 4,9% (1987) menjadi 5,8% (1988)
2)
Nilai total
ekspor meningkat dari US$ 17.206 juta (1987) menjadi US$ 19.509 juta (1988)
Prosentasi ekspor non migas meningkat dari 50,2% (1987) menjadi 59,8% (1988).
3)
Defisit
transaksi berjalan menurun : uS$2.269 juta (1987) menjadi US$1.552 juta (1988).
(Statistik Keuangan 1991/1992, BPS)
-
Meskipun adanya
perbaikan dalam lingkungan ekonomi eksternal, termask pemulihan harga minyak,
telah membantu Indonesia dalam proses penyesuaiannya, usaha dan tindakan
setelah tahun1986 berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan struktural dan finansial
yang tepat tela memainkan peranan penting. Kebijaksanaan-kebijaksanaan
penyesuaian yang dijalankan sejak tahun 1986 telah memperkuat kemampuan ekonomi
Indonesia untuk berdaya tahan terhadap goncangan yang merugikan (Rustam
Kamaluddin, 1989).
v KEGIATAN EKONOMI MEMANAS
(OVERHEATED) SEJAK 1990
-
Ekspansi
kegiatan ekonomi selama tahun-tahun 1989-1991 ada sangkut pautnya dengan
kebijaksanaan deregulasi pemerintah,
yang sudah mulaid ilaksanakan secara bertahap sejak tahun 1983. Rangkaian
tindakan deregulasi di atas memberi dorongan kuat terhadap kegiatan dunia
swasta, yang beberapa tahun terakhir ini telah menjadi faktor penggerak dalam
ekspansi ekonomi.
-
Ekspansi
ekonomi di atas telah disertai oleh ekspansi moneter yang besar, sebagai akibat
naiknya permintaan domestik (domestic demand) yang mencakup tingkat investasi
maupun tingkat konsumsi. Ekspansi ekonomi yang ditandai oleh laju
pertumbuhan pesat selama tiga tahun
berturut-turut ini dianggap terlalu panas (overheated) dari sudut kestabilan
keuangan moneter (Soemitro Djojokusumo, 1993).
a.
Masalah-masalah
yang dihadapi
-
Kecenderungan
terjadinya ekspansi ekonomi berbarengan dengan ekspansi moneter, sehingga
ekonomi memanas (overheated) jika dibiarkan berlangsung terus akan membahayakan
kestabilan ahrga dalam negeri dan melemahkan kedudukan negara kita dalam
hubungan ekonomi internasional (khususnya dibidang neraca pembayaran luar
negeri).
IndikatorEkspansiEkonomi
1)
Laju
pertumbuhan ekonomi yang meningkat : 5,8% (1988), 7,5% (1989), 7,1 (1990)
2)
Investasi dunia
swasta yang meningkat : 15% (1983), 17% (1991). Pangsa investasi asing berkisar
25% dari total nilai investasi swasta domestik.
IndikatorekspansiMoneter
1)
Jumlah uang
beredar meningkat : 40% (189), 44% (1990)
2)
Kredit
perbankan meningkat : 48% (1989), menjadi 54% (1991)
3)
Laju inflasi
meningkat : 5,5% (1988), 6,0% (1989) 9,5% (1990-1991)
4)
Defisit tahun
berjalan meningkat : US$1.6 miliar (1989), US$3.7 miliar (1990) dan US$4.5
miliar (1991). (Soemitro Djojohadikusumo, 1993)
b.
Rencana dan
Kebijaksanaan Pemerintah
-
Berlangsungnya
proses pemulihan ekonomi sampai kegiatan ekonomi meningkat cepat sehingga
memanas (overheated) berlangsung selama tahun ke 4, ke 5 pelaksanaan PELITA IV
dan tahun ke 1 PELITA V (1987/1988 – 1989/1990) dan ekonomi memanas ini berlangsung
terus sepanjang PELITA V (1989/1990 –
1993/1994)
-
Kondisi ekonomi
yang memanas perlu didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat.
-
Kebijaksanaan
uang ketat (TMP = tight money policy)
Untuk “mendinginkan” kondisi ekonomi yang terlalu panas
dilakukan kebijaksanaan fiskal dan moneter/ perbankan :
1)
Meningkatnya
penerimaan dalam negeri : Rp 28.73 triliun (1989/1990), Rp 39,54 triliun
(1990/1991), Rp 41,58 triliun (1991/1992)
2)
Moneter /
perbankan :
c)
Membatasi kredit
bank melalui politik diskonto (suku bunga) didukung operasi pasar terbuka
dengan instrument SBI dan SBPU.
d)
Mengawasi
likuiditas bank melalui ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) dann CAR (Capital
Adequacy Ratio).
Dampak TMP : pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6% (1991)
menjadi 6,3% (1992) dan inflasi menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992).
(Soemitro Djojohadikusumo, 1993: angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN
1994/1995).
v KEGIATAN EKONOMI INDONESIA MENJADI OVERLOADED TAHUN 1996
-
Pertumbuhan
jumlah uang beredar (M2), meningkatnya inflasi, investasi, kredit bank dan
kuatnya arus modal luar negeri, terutama yang bersumber dari hutang swasta luar
negeri serta defisit transaksi berjalan yang makin membengkak, menunjukkan bahwa
kegiatan ekonomi Indonesia berlangsung melampaui daya dukung (kemampuan) yang
ada (Laporan tahunan B.I. 1995/1996).
-
Hal ini
menunjukkan, bahwa kondisi ekonomi yang overheated sejak tahun 1990, mulai
tahun 1995/1996 menjadi overloaded, karena :
1)
Meningkatnya
permintaan domestik tidak diimbangi dengan kemampuan menambah penawaran,
sehingga harga-harga meningkat
2)
Maraknya
kegiatan investasi maupun konsumsi, mendorong permintaan kredit perbankan yang
tidak diimbangi pertambahan dana bank menyebabkan naiknya tingkat suku bunga
pinjaman.
3)
Melebarnya
selisih suku bunga dalam dan luar negeri, mendorong masuknya modal luar negeri
terutama hutang swasta, sehingga beban angsuran hutang luar negeri meningkat.
4)
Bersamaan dengan
meningkatnya impor non migas yang tidak diimbangi dengan peningkatan ekspor non
migas, menyebabkan defisit transaksi berjalan makin membengkak.
a.
Masalah-masalah
yang dihadapi
-
Meningkatnya
permintaan domestik, baik permintaan untuk konsumsi maupun investasi, yang
tidak disertai dengan meningkatnya penawaran yang memadai, menimbulkan tekanan pada gangguan keseimbangan internal
dan keseimbangan eksternal (Laporan Tahunan B.I. 1995/1996).
ü Gangguan Keseimbangan Internal :
1)
Meningkatnya
pendapatan nasional dari Rp 300,6 triliun menjadi Rp 323,5 triliun dan
pengeluaran konsumsi rumah tangga dari Rp 194,1 triliun menjadi Rp 206,3
triliun, yang tidak diimbangi dengan meningkatnya penawaran, menyebabkan
inflasi meningkat menjadi 8,9%.
2)
Meningkatnya
investasi dari 15,3% menjadi 16,4%, laju kenaikan kredit rata-rata 24,8% (1993/1994 –
1995/1996) melebihi kenaikan dana bank rata-rata sebesar 23,9% per tahun.
Akibatnya suku bunga pinjaman meningkat dari 15,3% menjadi 16,4%.
ü Gangguan keseimbangan eksternal
1)
Impor non migas
mengalami pertumbuhan sampai 19,8%, sedangkan ekspor non migas hanya meningkat
13,9%. Terjadi tekanan pada Neraca pembayaran, sehingga defisit transaksi
berjalan meningkat rationya terhadap PDB dari 2% menjadi 3%. Akibatnya sektor
luar negeri menjadi faktor pengurang pada pembentukan PDB.
2)
Meningkatnya
kebutuhan investasi yang tidak diimbangi pergambahan dana bank dan adanya
perbedaantingkat suku bunga dalam negeri (lebih tinggi) dengan suku bungan di
luar negeri, menyebabkan surplus lalu
lintas modal meningkat dari US$ 4,8 miliar menjadi US$11.4 miliar,
dimana sektor pemerintah defisit US$0,2 miliar sedangkan sektor swasta surplus
US$11.6 miliar, terutama dari hutang swasta ke luar negeri (laporan Tahunan,
B.I. 1995/1996).
-
Memperhatikan
perkembangan ekonomi sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator-indikator
ekonomi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya fundamental ekonomi
Indonesia pada tahun1995/1996 sudah lemah. Hal ini bertentangan dengan
pernyataan pejabat resmmi yang selalu meyakinkan masyarakat, bahwa masyarakat
tidak perlu khawatir karena fundamental ekonomi masih ”kuat”.
b.
Rencana dan
Kebijaksanaan Pemerintah
Hingga awal tahun 1997 dapat dikatakan bahwa
hampir semua orang, di Indonesia maupun dari badan-badan dunia seperti Bank
Dunia, IMF dan ABD tidak menduga bahwa beberapa negara di Asia akan mengalami
suatu krisis moneter atau ekonomi yang yang sangat besar sepanjang sejarah
dunjia sejak akhir perang dunia kedua. Walaupun sebenarnya sejak tahun 1995 ada
sejumlah lembaga keuangan dunia (IMF dan Bank Dunia) sudah beberapa kali
memperingati Thailand dan Indonesia bahwa ekonomi kedua negara tersebut sudah
mulai memanas (overheating economy) kalau dibiarkan terus (tidak segera
didinginkan) akan berakibat buruk (Tulus Tambunan, 1998).
KebijaksanaanTahun
1995 – 1996
a)
Kebijaksanaan
moneter : diarahkan untuk mengendalikann sumber-sumber ekspansi M2, khususnya
meningkatnya kredit bank dan arus modal luar negeri melalui :
1)
Mekanisme
operasi pasar terbuka (OPT) dengan instrumen SBI dan SBPU
2)
Merubah
ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi 3%.
3)
Merubah
ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) secara bertahap mencapai 12%.
b)
Kebijaksanaan
Valuta Asing/ Devisa : diarahkan untuk mengurangi dorongan masuknya modal
asing, terutama yang berjangka pendek dengan cara :
1)
Meningkatkan
fleksibelitas nilai tukar rupiah melalui pelebaran spread kurs jual dan kurs
beli rupiah terhadap Dollar Amerika
2)
Menerapkan
penggunaan batas kurs intervensi (perbedaan batas atas dan batas bawwah sebesar
Rp 66,00)
3)
Melakukan kerja
sama bilateral dengan otoritas moneter Malaysia, Singapura, Thailand, Hong
Kong, Philipina melalui transaksi repurchases agreement (repo) surat-surat
berharga.
c)
Kebijaksanaan
sektor Riil 4 Juni 1996 ; dalam rangka meningkatkan efisiensi dan ketahanan
ekonomi serta meningkatkan efisiensi dan ketahanan ekonomi serta meningkatkan
daya saing produksi nasional, meliputi bidang :
1)
Bidang impor mencakup
Antara lain adalah penyederhanaan tata niaga impor.
2)
Dibidang ekspor
mencakup :
Antara lain penghapusan pemeriksaan barang ekspor oleh
surveyor.
3)
Iklim Usaha
v KRISIS MONETER BULAN JULI 1997 MENJADI KRISIS EKONOMI
-
Tidak mudah
menentukan apa faktor-faktor utama penyebab krisis ekonoim di Indonesia, karena
setiap gejolak ekonomi dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang langsung (drect
factors) dan faktor-faktor yang tidak
langsung (indirect factors) yang mempengaruhinya. Sselain itu dapat pula
dibedakan aadanya faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal, yang
mempengaruhi terjadinya krisis ekonomis, baik yang bersifat ekonomi maupun yang
bersifat noneknomis.
-
Selain
faktor-faktor internal dan eksternal, ada tiga teori alternatif yang dapat juga
dipakai sebagai basic framework untuk menganalisis faktor-faktor penyebab
terjadinya krisis ekonomi di Asia (Tulus Tambunan, 1998).
a.
Faktor-faktor
Internal
-
Fundamental
ekonomi nasional yang merupakan penyebab krisis ekonomi di Indonesia adala
fundamental makro misalnya pertumbuhan ekonomi,
pendapatan nasional, tingkat inflasi, jumlah uang beredar, jumlah
pengangguran, jumlah investasi, keseimbangan neraca pembayaran, cadangan devisa
dan tingkat suku bunga.
-
Dilihat dari
fundamental ekonomi makro, bukan hanya sektor moneter tapi juga sektor riil
mempunyai kontribusi yang besaar terhadap terjadinya krisis ekonomi di
Indonesia, karena dua alasan:
1)
Perkembangann
sektor moneter sebenarnya sangat tergantung dari perkembangan sektor riil,
karena uang (valas) sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan seperti
produk-produk dari sektor riil.
2)
Perubahan
cadangan valas sangat sensitif terhadap
perubahan sektor riil (perdagangan luar negeri) dan salah satu penyebab
depresiasi nilai tukar rupiah yang menciptakan krisis ekonomi di Indonesia
adalah karena terbatasnya cadangan valas di Bank Indonesia.
-
Indonesia
akhirnya juga digoncang oleh “pelarian” dollar AS. Ini mencerminkan bahwa
ekonomi Indonesia sangat tergantung pada modal jangka pendek dari luar negeri
(short-term capital inflow). Sumber utama pertumbuhan jumlah cadangan devisa
Indonesia, bukan dari hasil ekspor neto, melainkan dari arus modal masuk jangka
pendek (surplus neraca kapital) (Tulus Tambunan, 1998).
b.
Faktor-faktor
eksternal
-
Jepang dan
Eropa Barat mengalami kelesuan pertumbuhan ekonomi sejak awal dekade 90-an dan
tingkat suku bunga sangat rendah. Dana sangat melimpah sehingga sebagian besar
arus modal swasta mengalir ke negara-negara Asia Tenggara dan Timur, yang
akhirnya membuat krisis.
-
Daya saing
Indonesia di Asia yang lemah, sedang nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
terlalu kuat (overvalued). (Tulus Tambunan, 1998).
c.
Teori-teori
Alternatif
1)
Teori
konspirasi, krisis ekonomi sengaja ditimbulkan oleh negara-negara maju
tertentu, khususnya Amerika, karena tidak menyukai sikap arogansi ASEAN selama
ini.
2)
Teori
contagion, yaitu karena adanya contagion effect; menularnya amat cepat dari
satu negar ake negara lain, disebabkan investor asing merasa ketakutan.
3)
Teori business
cycle (konjungtur), karena proses ekonomi berdasarkan mekanisme pasar (ekonomi kapitalis) selalu
menunjukkan gelombang pasang surut dalam bentuk naik turunnya variabel-variabel
makro (Tulus Tambunan, 1998).
d.
Faktor-faktor
non-ekonomi
1)
Dampak
psikologis dari krisis di Indonesia adalah merebaknya penomena kepanikan,
sehingga para pemilik modal internasional memindahkan modal mereka dari
Indonesia secara tiba-tiba.
2)
Kepanikan ini
kemudian diikuti oleh warga negara di Indonesia, sehingga sekelompok orang
(spekulan) berusaha meraih keuntungan dengan cara menukar sejumlah besar rupiah
terhadap dollar AS. (Tulus Tambunan, 1998).
v MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI
SETELAH KRISIS
-
Yang menjadi
persoalan penting sekarang ini bagi Indonesia adalah menyangkut biaya krisis
atau besarnya “pengorbanan” yang harus dibayar akibat krisis dan lamanya
pengorbanan itu harus dipikul. Setelah
setahun krisis berkalngsung, ternyata biaya krisis yang harus dibayar
masyarakat Indonesia lebih besar dibandingkan di Thailand, Korea Selatan atau
Malaysia.
-
Biaya-biaya
sosial : kerusuhan di mana-mana sejak black May 1998, banyak orang kekurangan
gizi, anak putus sekilah meingkat,
kriminalitas makin tinggi.
-
Biaya-biaya
ekonomi : pendapatan per kapita anjlok secara drastis, laju pertumbuhan PDB
menjadi negatif, jumlah pengangguran dan kemiskinan meningkat, bencana
kelaparan ini banyak lokasi, hiperinflasi, dan dengan defisit anggaran
pemerintah dan neraca pembayaran membengkak. (Tulus Tambunan, 1998).
RENCANA DAN
PROGRAM PEMULIAHAN EKONOMI
a.
Rencana:
menurut Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas, Boediono,
pemerintah telah menetapkan tempat tahapan strategis :
1)
Tahap
penyelematan (1 – 2 tahun sejak 1998/1999)
2)
Tahap pemulihan
yang sifatnya tumpang tindih dengan tahap sebelumnya (2 tahun)
3)
Tahap
pemantapan (1-2 tahun) setelah selelsai tahap penyelamatan.
4)
Tahap
pembangunan yang dapat dimulai kembali apabila saluran krisis dapat
ditanggulangi.
(Kompas, 18 September 1998)
b.
Program
Pemulihan dan Kebijaksanaan Ekonomi
-
Setelah
menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak dapat
dibendung lagi dan cadangan dollar AS di BI sudah menipisi, maka bulan Nopember
1997 Indonesia minta bantunan IMF untuk mendapat bantuan dana (Tulus Tambunan,
1998) :
1)
Pinjaman tahap
pertama 3 mioliar dollar AS untuk memperkuat dan menstabilkan nilai rupiah,
diterima bulan Nopember 1997.
2)
Bulan Januari
1998 ditanda tangani nota kesepakatan atau letter of inten (I) yang memuat 50
point/ ketentuan: kebijaksanaan ekonomi makro (fiskal-moneter) restrukturisassi
keuangan dan reformasi struktural.
3)
Bulan Maret
1998 dilakukan perundingan baru lagi dan bulan April 1998 ditanda tangani
memorandum tambahan atau letter of inten (II)
Ada lima memorandum tambahan yang disepakati :
ü Program stabilisasi pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
ü Restrukturisasi perbankann dalam rangka penyehatan sistem
perbankan nasional.
ü Reformasi struktur yang mencakup upaya-upaya dan sasaran
yang telah disepakati (letter of inten-II)
ü Penyelesaian utang luar negeri swasta (corporate debt).
ü Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah)
c.
Beberapa
langkah penting, sesuai kesepakatan IMF :
1)
Kebijaksanaan
moneter
2)
Kebijaksanaan
perbankan
3)
Program
kesempatan kerja
4)
Reformasi dan privatisasi BUMN
5)
Restrukturisasi
ULN swasta (Tulus Tambunan, 1998).
d.
Program Jaring
Pengaman Sosial (JPS) meliputi :
1)
Program
Ketahanan Pangan
2)
Program padat
karya
3)
Program
perlindungan sosial
4)
Program
pemberdayaan ekonomi rakyat
(Kompas, 18 September 1998)
DAFTAR PUSTAKA
-Buku Perekonomian
Indonesia
-Buku Sejarah Perekonomian Indonesia
-Buku Sejarah Perekonomian Indonesia